MAKI & LP3HI Gugat Bareskrim Polri Soal Kasus Denny Indrayana
MAKI dan LP3HI gugat Kabareskrim Polri, Dirkrimsus Polda Metro Jaya, dan Kejaksaan Agung ke PN Jakarta Selatan.
NARASINEWS.ID - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bersama Lembaga Pengawasan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) menggugat Kabareskrim Polri, Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, dan Kejaksaan Agung ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Gugatan yang teregister dengan nomor 115/Pid.Pra/2024/PN.JKT.SEL tersebut diajukan oleh MAKI dan LP3HI karena ketiga lembaga penegak hukum ini dianggap telah menghentikan penyidikan terhadap mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkum HAM), Denny Indrayana, yang menjadi tersangka kasus korupsi sistem pembayaran secara online (payment gateway) oleh Bareskrim Polri pada 2015.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyatakan bahwa pihaknya bersama LP3HI mengajukan gugatan terhadap Bareskrim Polri (Termohon I), Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya (Termohon II), dan Kejaksaan Agung (Termohon III) dengan alasan bahwa Bareskrim Polri (Termohon I) tidak pernah menyerahkan tersangka beserta berkas dan barang bukti kepada Kejaksaan Agung untuk diproses ke pengadilan.
"Kondisi ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa kecuali," ujar Boyamin, Selasa (19/11).
Ia menjelaskan bahwa pada 2015, Bareskrim Polri telah melakukan penyidikan terkait dugaan tindak pidana korupsi sistem pembayaran secara online (payment gateway) dalam pengurusan biaya paspor di Kementerian Hukum dan HAM tahun anggaran 2014.
"Tindak pidana korupsi payment gateway tersebut merugikan negara sebesar Rp32.693.695.000 dengan menampung dana PNBP secara tidak sah melalui vendor pihak ketiga," ungkapnya.
Boyamin melanjutkan bahwa pada Maret 2015, Bareskrim Polri menetapkan Denny Indrayana, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, sebagai tersangka korupsi payment gateway dan telah mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Agung RI.
"Namun, meski telah ditetapkan sebagai tersangka, Denny Indrayana tidak ditahan, berbeda dengan tersangka-tersangka tindak pidana korupsi lainnya yang langsung ditahan dan berkasnya segera dilimpahkan ke pengadilan untuk penuntutan," ujar Boyamin.
Hingga permohonan praperadilan diajukan ke PN Jakarta Selatan, Bareskrim Polri belum pernah menyerahkan tersangka beserta berkas dan barang bukti kepada Kejaksaan Agung untuk diproses ke pengadilan.
Boyamin menambahkan bahwa penelusuran menunjukkan bahwa berkas penyidikan terkait dugaan korupsi payment gateway di Kementerian Hukum dan HAM tahun 2014 dengan tersangka Denny Indrayana telah dilimpahkan ke Termohon II (Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya) pada 2018.
"Pada Juli 2018, diketahui bahwa Termohon II telah mengirimkan SPDP kepada Termohon III (Kejaksaan Agung) terkait penanganan perkara korupsi payment gateway tersebut," katanya.
Namun, sejak perkara ditangani oleh Termohon II dan Termohon III pada 2018 hingga pengajuan praperadilan di PN Jaksel, para termohon tidak mengeluarkan Surat Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3) dan juga tidak pernah melimpahkan perkaranya ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Perkara ini telah tergantung sejak Denny Indrayana ditetapkan sebagai tersangka oleh Termohon I pada 2015. Dengan demikian, penyidikan sudah berjalan hampir 10 tahun," ucap Boyamin.
Kondisi ini, menurut Boyamin, sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia karena tidak adanya kepastian hukum dan keadilan. "Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan tanpa kecuali," tegasnya.
Ia juga menyoroti perbedaan perlakuan terhadap Denny Indrayana dibandingkan dengan tersangka tindak pidana korupsi lainnya, terlihat dari kebebasan Denny melakukan perjalanan ke luar negeri.
"Hal ini berpotensi menyulitkan penyidik dalam menghadirkan tersangka untuk proses penyerahan tahap 2 (P21 tahap 2) dari penyidik kepada jaksa penuntut umum, terutama jika tersangka berada di negara tanpa perjanjian ekstradisi dengan Indonesia," tutup Boyamin.
Boyamin menilai bahwa para termohon, yakni Bareskrim Polri, Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, dan Kejaksaan Agung, terkesan tidak sungguh-sungguh dalam menangani perkara korupsi ini. "Oleh karena itu, sangat wajar jika mereka diperintahkan untuk segera menyelesaikan penyidikan dan melimpahkan berkas perkara serta tersangkanya ke pengadilan," pungkasnya.
What's Your Reaction?