Kisah Agus, 40 Tahun Hidup Sebatang kara di Hutan Mangrove

“Sebelumnya saya berpindah tempat dari kota ke kota hanya untuk mengais rejeki dengan cara menjadi pengamen pada umumnya. Itu saya lakukan di terminal, naik turun bus dan singgah di kota lain. Sampai pernah saya ngamen dan singgah di Banyuwangi dan Kota Jember,” ujar Agus.

Oct 30, 2022 - 15:52
Oct 30, 2022 - 16:05
 0
Kisah Agus, 40 Tahun Hidup Sebatang kara di Hutan Mangrove
Agus berada di gubuk tua miliknya yang berada di tengah hutan mangrove. Dia sudah hidup sebatang kara selama 40 tahun di lokasi tersebut. (Foto : Raphel/Narasinews.id)

Narasinews.id, PROBOLINGGO – Agus Sugiarto, kakek berusia 76 tahun ini hidup sebatang kara di tengah hutan mangrove di wilayah pesisir pantai Kota Probolinggo tanpa adanya istri maupun sanak saudara yang menemaninya. 

Agus Sugiarto merupakan warga Yogyakarta. Pria yang akrab disapa Agus tersebut berprofesi sebagai pengamen jalanan. 

Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk hidup di tengah hutan mangrove yang ada di Jalan Lungkar Utara, Kecamatan Mayangan. Berbekal satu buah gitar tua dan beberapa pakaian yang didapat dari penduduk sekitar, dirinya mampu bertahan hidup hingga 40 tahun. 

“Sebelumnya saya berpindah tempat dari kota ke kota hanya untuk mengais rejeki dengan cara menjadi pengamen pada umumnya. Itu saya lakukan di terminal, naik turun bus dan singgah di kota lain. Sampai pernah saya ngamen dan singgah di Banyuwangi dan Kota Jember,” ujar kakek kelahiran 1946 ini. 

Dirinya juga sempat menikah dengan wanita asal Jember yang sama-sama berprofesi sebagai pengamen jalanan di Terminal Tawangalun. Namun sayangnya kisah asmaranya tersebut harus kandas satu minggu setelah menikah. 

“Saya tidak pernah tahu apa alasan istri saya meninggalkan saya. Jadi ya sudahlah. Mungkin dia juga tidak betah untuk hidup bersama saya dan semenjak saat itu saya memutuskan untuk singgah di Kota Probolinggo ini. Hingga kemudian saya menemukan hutan mangrove yang saya tempati saat ini,” terangnya. 

Selain itu, Agus sangat suka dengan kucing. Dirinya juga gemar mencari kerang kecil di pinggiran hutan mangrove. Oleh sebab itu, dia enggan untuk meninggalkan tempat tinggalnya yang saat ini di tempati. 

“Kira-kira sekitar tahun 1982 saya berpindah ke mangrove ini. Dari dulu hingga saat ini saya mampu bertahan hidup hanya dari mencari kerang kecil atau remis yang ada di mangrove ini. Selain itu, saya juga berkeliling ke pemukiman sekitar guna memulung botol bekas dan kardus untuk saya jual kembali,” ucapnya. 

Dengan kondisinya ini, Agus sering mengalami  beberapa hal yang tidak mengenakkan. Seperti air laut sedang pasang pada malam hari, sehingga dia memilih menyelamatkan barang hasil rongsokannya untuk digantung di akar pohon mangrov. Bahkan ia juga memanjat akar pohon tersebut agar terhindar dari dinginnya air payau. 

“Ya bagaimana lagi, terpaksa saya tidak tidur selama semalam suntuk kalau airnya sedang tinggi seperti itu. Untuk penghasilan dari berjualan remis, bisa dibilang cukup untuk saya dan kucing saya makan. Apalagi saya saat ini juga sudah jarang sekali memakan nasi, karena gigi saya ini sudah rontok semua yang bagian atas ini. Jadi ya saya makan kerupuk saja,” imbuhnya. 

Bahkan untuk memakan nasi, Agus harus memasaknya hingga sangat lembut hampir menyerupai bubur. Agar dirinya tidak kesulitan saat menyantapnya. Dia menjelaskan untuk memasak nasi tersebut hanya mengandalkan kompor tungku buatannya dan satu buah panci hasil pemberian warga sekitar. 

Kondisi yang sangat memperihatinkan tersebut sering kali membuat Agus berpikiran untuk mengakhiri nyawanya. Bahkan sedikitnya ada tujuh kali percobaan bunuh diri yang ia lakukan, namun selalu gagal. 

“Dari gantung diri, minum racun serangga, menabrakkan diri ke kereta api, bahkan bisa ular kobra pun juga sudah pernah saya minum. Namun selalu gagal. Permintaan saya hanya satu pada sang pencipta, tolong segera ambil saya,” pungkasnya. 

Selama dirinya hidup di hutan mangrove, Agus juga pernah didatangi pegawai dinas sosial. Bahkan dirinya pernah diminta untuk pindah dari tempat tersebut, namun selalu ia tolak. 

“Saya sudah merasa nyaman di gubuk ini. Saya juga kasian pada kucing saya ini. Kalau saya pindah, siapa yang mau merawatnya. Selain itu, saya juga merasa sangat nyaman di sini, suasana yang sepi ini menurut saya adalah sebuah ketenangan,” ungkapnya. 

Dengan kondisi yang jauh dari kata layak ini, Agus kerap menolak bantuan yang tidak dia butuhkan. Sebari menghisap rokoknya. Agus berkata, lebih baik bantuan tersebut diberikan pada orang yang lebih membutuhkan saja. Bahkan ia pernah menerima bantuan yang tidak dibutuhkan. 

“Namun saya sumbangkan kembali pada yayasan panti asuhan atau pada orang yang lebih membutuhkan. Karena menurut saya, dengan kondisi seperti ini merupakan salah satu komitmen saya. Bahwa saya memilih hidup sendiri tanpa bergantung pada orang tua saya dahulu saat saya kecil," tegasnya.

"Dengan bermodal kesukaan saya dalam bermusik, hingga akhirnya saya menjadi pengamen dan menurut saya itu suatu kepuasan tersendiri bisa hidup tanpa sepeser pun uang dari orang tua saya. Bahkan sekarang saya sudah tidak mengetahui di mana saudara saya lainnya dan kondisi orang tua saya saat ini di mana," tutupnya sebari mengingat-ingat memori masa lalunya. (*)

*Reporter : Raphel | Editor : Fathur Rozi

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow