SKK Migas Diduga 'Kuasai' Hasil Alam Aceh
"Kami meminta Pertamina mempublikasikan hasil Migas di Bumi Aceh yang didapatkan oleh Pertamina. Hasil yang perlu disampaikan adalah yang menjadi bagian pemerintah sejak lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2006," ujar Safaruddin
Narasinews.id, BANDA ACEH - Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, meminta Pertamina untuk membuka hasil Migas yang dikeruk dari Bumi Aceh sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh. Ia juga mempertanyakan kewenangan SKK Migas yang diduga masih menguasai pengelolaan hasil alam di Bumi Serambi Mekkah.
Safar juga mempertanyakan tentang kontrak Pertamina dengan SKK Migas di Aceh. "Kami meminta Pertamina mempublikasikan hasil Migas di Bumi Aceh yang didapatkan oleh Pertamina. Hasil yang perlu disampaikan adalah yang menjadi bagian pemerintah sejak lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2006," ujarnya, Selasa (14/2/2023).
Safar mengungkapkan, bagi hasil Migas Aceh yakni 70 persen untuk Pemprov Aceh dan 30 persennya untuk pemerintah pusat. "Makanya kita meminta kepada Pertamina untuk menyampaikan hasil yang telah dikeruk dari perut Bumi Aceh secara terbuka kepada Pemprov Aceh dan DPR Aceh," tegasnya.
Menurutnya, pembagian bagi hasil dan tata kelola Migas di Aceh telah diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015, tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh.
"Seharusnya sejak PP 23 disahkan, Pemerintah Aceh sudah bisa mendapatkan jumlah hasil Migas pada Blok Migas yang dikelola oleh Pertamina. Karena kewajibannya Pertamina harus berkontrak dengan BPMA bukan SKK Migas, tapi sampai saat ini Pertamina masih berkontrak dengan SKK Migas dan tidak menyampaikan hasil produksinya ke Pemerintah Aceh atau BPMA," bebernya.
Oleh karena itu, Safar meminta agar Pertamina menyampaikan hasil produksinya, khususnya bagian pemerintah (government share) paling lambat 14 hari kerja sejak surat yang dikirimkan oleh YARA dengan tembusan kepada Menteri ESDM, Gubernur Aceh, DPR Aceh, PYM Wali Nanggroe, Kepala SKK Migas dan Kepala BPMA.
"Sejak dikeluarkan PP 23/2015, seharusnya seluruh hasil Migas di Aceh sudah tecatat di Pemerintah Aceh, karena laporan produksi migas di Aceh harus disampaikan kepada Pemerintah Aceh juga melalui BPMA. Kemudian seluruh perusahaan Migas di Aceh termasuk Pertamina sejak 2015 wajib berkontrak dengan BPMA bukan dengan SKK Migas seperti sekarang ini," tegas Safar.
Jika ditinjau secara aspek hukum, kontrak Pertamina dan SKK Migas adalah perbuatan melawan hukum, karena tidak sesuai dengan PP 23/2015. "Tetapi ini seperti ada pembiaran dari Pemerintah Pusat," pungkas Safar. (*)
*Reporter : Ahmad Mirdza | Editor : Fathur Rozi
What's Your Reaction?