Kedepankan Kehatian-hatian, Bappebti Konsisten dengan Rencana Kebijakan Ekspor CPO Melalui Bursa Berjangka
"Perdagangan CPO di Indonesia saat ini masih mengacu pada harga referensi dari bursa Malaysia dan Rotterdam. Padahal, Indonesia merupakan penghasil dan pengekspor CPO terbesar di dunia dengan volume ekspor CPO mencapai 3,462 juta ton pada 2022. Walaupun nilai ekspor surplus, potensi penerimaan negara belum maksimal untuk masyarakat Indonesia," jelas Didid.
JAKARTA, NARASINEWS.ID - Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Didid Noordiatmoko menerangkan, penyusunan rancangan kebijakan ekspor crude palm oil (CPO) melalui bursa berjangka masih tetap berproses dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers yang digelar Bappebti di Jakarta kemarin, Kamis (3/8).
Bertindak sebagai moderator Sekretaris Bappebti, Olvy Andrianita, turut serta hadir Kepala Biro Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK), Sistem Resi Gudang (SRG), dan Pasar Lelang Komoditas (PLK) Widiastuti beserta Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditai (PBK) Tirta Karma Senjaya.
"Bappebti mengedepankan kehati-hatian dalam penyiapan bursa berjangka CPO. Kami menjaga agar kebijakan dan ketentuan yang tengah disusun tidak bertabrakan. Terkait dengan itu, pemerintah sudah menyusun tiga rancangan kebijakan dan ketentuan teknis terkait bursa berjangka CPO. Pertama, Rancangan Perubahan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2022. Kedua, Rancangan Peraturan Bappebti tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Perdagangan Pasar Fisik Minyak Sawit Mentah. Ketiga, Rancangan Peraturan Tata Tertib (PTT) Pasar Fisik CPO," ungkap Didid dalam paparannya.
Pada kesempatan tersebut, Didid menekankan manfaat kebijakan ekspor CPO melalui bursa berjangka, yaitu pertama, terbentuk harga acuan (price reference) CPO yang transparan, akuntabel, dan real time. Kondisi saat ini perdagangan CPO di Indonesia masih mengacu pada harga referensi dari luar sehingga menjadi tidak transparan, tidak real time, dan sering menimbulkan under pricing.
"Perdagangan CPO di Indonesia saat ini masih mengacu pada harga referensi dari bursa Malaysia dan Rotterdam. Padahal, Indonesia merupakan penghasil dan pengekspor CPO terbesar di dunia dengan volume ekspor CPO mencapai 3,462 juta ton pada 2022. Walaupun nilai ekspor surplus, potensi penerimaan negara belum maksimal untuk masyarakat Indonesia," jelas Didid.
Manfaat kedua, Harga Patokan Ekspor (HPE) dapat ditetapkan dengan jelas dan penerimaan negara dari pajak akan meningkat. Manfaat ketiga, dapat mendorong perbaikan harga Tandan Buah Segar (TBS) oleh Kementerian Pertanian dan menjadikan harga acuan biodiesel oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral lebih akurat.
“Ke depannya diharapkan bursa CPO dapat memfasilitasi perdagangan CPO lokal sehingga transaksi di bursa akan lebih likuid,” tambah Didid.
Mengenai implementasi UU Anti-Deforestasi dari Uni Eropa, Didid menuturkan, Indonesia dan Malaysia harus bersinergi dan bersama memperjuangkan CPO.
"Indonesia dan Malaysia berada di posisi yang sama sebagai produsen terbesar CPO sehingga harus bersama-sama memperjuangkan CPO. Terkait pembentukan bursa, Bappebti akan belajar dari bursa-bursa komoditas di dunia, termasuk bursa di Malaysia," ungkap Didid.
Adapun kemajuan rancangan kebijakan ekspor CPO melalui bursa berjangka saat ini rancangan Peraturan Menteri Perdagangan sudah selesai ditelaah hukum.
“Rancangan Permendag sudah selesai terkait penyusunan Regulatory Impact Assessment (RIA) dan sudah ditelaah Biro Hukum
Kemendag. Segera setelah ini, akan dilakukan harmonisasi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kementerian Perdagangan menggelar rapat lagi terkait rancangan ini dengan instansi terkait pada 4 Agustus 2023,” jelas Didid. (*)
*Reporter : Nanda | Editor : Izzul Muttaqin
What's Your Reaction?