Kebijakan Fiskal Islam; Benteng Pertahanan Resesi

Kebijakan Fiskal Islam; Benteng Pertahanan Resesi
Muhammad Ali Akbar menyampaikan materi di hadapan sejumlah murid. (Foto: Muhammad Ali Akbar for Narasinews.id)

Narasinews.id - Dalam beberapa bulan terakhir, isu resesi menjadi topik hangat yang banyak dibahas oleh berbagai kalangan, mulai dari masyarakat akar rumput dalam obrolan warung kopi hingga ramalan ekonomi yang dibahas oleh banyak pakar ekonom, membahas resesi dalam segala sudut pandang.

Isu resesi mulai gencar dibicarakan di Indonesia sejak krisis parah yang melanda beberapa negara di dunia antara lain adalah Sri Lanka, Lebanon, Turki dan yang terbaru adalah Inggris. Menurut beberapa pakar ekonomi, krisis yang terjadi terhadap beberapa negara tersebut, secara tidak langsung akan berdampak terhadap perekonomian di Indonesia. Seperti efek domino, lambat atau cepat kejatuhan sebuah negara akan memberi dampak pada negara lainnya.

Mengutip pendapat Mentri Keuangan Sri Mulyani, krisis ekonomi di Inggris sangat menentukan sentimen global terhadap seluruh negara, baik di G20 maupun emerging market. Lebih lanjut Ia memperkirakan bahwa beberapa negara besar di dunia seperti Amerika dan Uni Eropa berpotensi mengalami resesi di tahun depan.

Sebagai sebuah negara dengan penduduk terbanyak keempat menurut sensus internal PBB, Indonesia cukup rentan untuk menghadapi isu resesi yang akan terjadi. Lalu bagaimana solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk terhindar dari resesi?

Peran Pemerintah dalam Perekonomian

Negara merupakan bagian sangat penting dalam mewujudkan hukum Islam, karena Islam secara sistem tidak dapat berjalan secara utuh tanpa adanya negara. Tujuan hakiki dari negara dalam Islam adalah memberikan maslahah kepada masyarakatnya yang mengantarkan manusia kepada kemakmuran. Ketika negara secara sistem telah dijalankan dengan landasan nilai-nilai Islam, mata tujuan yang ingin dicapai harus sesuai dengan kehendak Islam (Softyan, 2016).

Dalam pondasi ekonomi Islam, pemerintah memiliki peranan penting dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat. Prinsip khalifah menjelaskan peran manusia sebagai wakil Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an mengenai penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Firman ini sesuai dengan nilai selanjutnya yang mendasari terhadap kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa dipisahkan dari interaksi (muamalah) sesama manusia, begitu pula dalam bidang ekonomi (Akbar, 2019).

Kebijakan Fiskal dalam Islam

Dalam    Islam, kebijakan    fiskal    merupakan    suatu kewajiban negara dan menjadi hak rakyat, sehingga kebijakan fiskal bukanlah semata-mata sebagai suatu kebutuhan untuk perbaikan ekonomi  maupun  untuk  peningkatan  kesejahteraan rakyat   saja,   akan   tetapi   lebih   pada   penciptaan   mekanisme distribusi  ekonomi  yang  adil.  Karena hakikat permasalahan ekonomi   yang   melanda   umat   manusia   adalah   berasal   dari bagaimana distribusi harta di tengah-tengah masyarakat terjadi (Rahmawati, 2016).

Kebijakan fiskal dalam islam yang cukup dikenal adalah kebijakan fiskal yang terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab. Baitul Maal pada masa pemerintahan Umar bin Khattab secara tidak langsung menjadi pelaksana kebijakan fiskal negara Islam, karena lembaga yang mengelola seluruh pendapatan negara. Pada masa itu, Abdullah bin Irqam dipercaya sebagai menteri keuangan dibantu oleh Abdurrahman bin Ubaid Al-Qori dan Muayqab (Alfiah, 2017).

Langkah awal yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab dalam mengelola kebijakan fiskal adalah dengan mengklasifikasikan sumber-sumber pendapatan agar jelas pengadministrasiannya. Pengklasifikasian tersebut antara lain adalah Zakat, Infak, wakaf dan Sedekah, Ghanimah (rampasan perang), Fa’i, Kharaj (pajak tanah), Jizyah (pajak bagi nonmuslim), Ushur (bea cukai) dan Khums (pajak rikazh dan barang tambang) (Hindarjo, 2018).

Kebijakan Fiskal Islam Sebagai Solusi

Indonesia memang bukan sebuah negara islam. Namun berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 272,23 juta jiwa pada Juni 2021, sebanyak 236,53 juta jiwa (86,88%) beragama Islam.

Sehingga dalam penerapan kebijakan fiskal, negara dapat mengadopsi basis kebijakan fiskal islam. Kebijakan   fiskal   menurut   ekonomi   Islam diharapkan melaksanakan   fungsi   alokasi, distribusi   dan stabilisasi dalam suatu negara yang mempunyai ciri khas tertentu dari nilai orientasi, dimensi etik dan sosial dalam pendapatan dan pengeluaran negara (Rozalinda, 2014).

Dalam sejarah Islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu instrument penting dalam membangun tata kelola keuangan negara dengan   terencana   dan   terarah.   Adiwarman Azwar Karim   dalam   bukunya Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, menyebutkan bahwa beberapa instrumen kebijakan fiskal yang terekam di awal pemerintahan Islam antara lain adalah peningkatan pendapatan nasional dan tingkat partisipasi kerja, kebijakan pajak, kebijakan anggara, dan kekuatan persaudaran.

Indonesia dalam hal ini dapat memperhatikan lebih lanjut beberapa instrument kebijakan fiskal islam untuk memperkuat diri menghadapi resesi. Tentu saja dengan mempersiapkan semua intrumen tersebut secara serius dan menyeluruh.

Dalam instrument kebijakan fiskal peningkatan pendapatan nasional dan tingkat patisipasi kerja, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan dan serius menggarap esensi sebenarnya dari Indonesia sebagai sebuah negara agraria yang kaya. Hal ini dapat dilakukan dengan mendukung para petani dengan menyediakan kebutuhan yang dibutuhkan, mengkampanyekan semangat tani milinial, serta meremajakan teknologi pertanian yang ada secara menyeluruh. Menjadi sebuah negara yang mandiri dalam perihal pangan tentu saja menjadi sebuah modal besar untuk menghadapi hantu resesi yang semakin gencar membayangi.

Sementara dalam instrument kebijakan fiskal yang berkaitan dengan pajak, pemerintah dapat membantu para petani, produsen, pebisnis dan pelaku usaha dalam negeri dalam meringankan pajak yang dibebani. Sebagai timbal baliknya, pajak terhadap investor asing dapat lebih diperketat dalam pembebanannya.

Tentu saja kebijakan pajak seperti ini memiliki nilai positif dan negatif. Terlebih dalam beberapa tahun terakhir pemerindah banyak mempermudah para imvestor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Namun hal tersebut tentu saja sebanding, jika pelaku usaha dalam negeri lebih diperhatikan dan difasilitasi dalam pendistribusian produk yang mereka hasilkan.

Dalam kebijakan fiskal anggaran, pemerintah harus lebih tegas dan bijak dalam penggunaan anggaran negara. Tentu saja penganggaran yang bijak dan tepat akan mampu membantu Indonesia untuk sedikit lebih leluasa dalam pendistribusian anggaran secara maksimal.

Untuk kekuatan persaudaraan, kebijakan fiskal yang terkait dengan hal ini tentu saja lebih mudah di terapkan dalam lingkungan masyarakat Indonesia. Hanya saja, untuk menerapkan instrument kebijakan ini, pemerintah harus memiliki nilai yang tinggi dalam kepercayaan publik.

Seharusnya ketakutan terhadap resesi dapat terselesaikan dengan pendekatan yang tepat oleh pemerindah dalam kebijakan fiskal. Baiknya kebijakan fiskal tersebut menerapkan cara islam yang mementingkan kesejahteraan masyarakat luas. (*)

*Penulis: Muhammad Ali Akbar, SE

(Mahasiswa Pascasarja UIN Salatiga)

Discalimer: Karya tulis ini bukan produk jurnalistik. Melainkan opini/artikel dari si penulis. Segala hal terkait karya ini menjadi tanggung jawab penulis.