Khutbah di Masjid Cheng Hoo, Rektor UIN KHAS Jember: Kita Butuh Ibrahim-Ibrahim Baru
Dalam penyampaianya Rektor UIN KHAS Jember menyatakan bahwa saat ini dibutuhkan sosok ibrahim-ibrahim baru.
NARASINEWS.ID | JEMBER - Rektor UIN KHAS Jember menjadi khotib dalam khutbah di Masjid Cheng Hoo Jember. Dalam penyampaianya Prof. Dr. H. Hefni, S.Ag,.MM menyatakan bahwa saat ini dibutuhkan sosok ibrahim-ibrahim baru.
Menurutnya banyak pelajaran yang bisa diambil dari Nabi Ibrahim. Salah satunya kerja keras, kesabaran, keyakinan, dan tawakkal yang total kepada Allah akan mendatangkan pertolongan yang tidak terduga.
"Jadi serahkan sepenuhnya kepada Allah tanpa keraguan. Karena keyakinan yang kuat adalah kunci untuk mewujudkan kenyataan," kata Prof. Hepni, Senin (17/6/2024).
Dalam hiruk-pikuk zaman modern ini, dengan segala kecanggihan teknologi dan kemajuan peradaban, sering kali merasa kehilangan arah. Dunia yang seharusnya semakin mendekatkan satu sama lain justru sering kali memperlebar jarak. Krisis moral, konflik antar bangsa, dan ketidakadilan sosial semakin merajalela.
"Ditengah kegelisahan ini, ada satu sosok yang teladannya selalu relevan sepanjang masa, yakni Nabi Ibrahim AS,".jelasnya.
Ibrahim bukan hanya seorang nabi dalam arti religius, tetapi juga seorang pemimpin moral dan spiritual yang berani mempertanyakan status quo. Ia dikenal karena keberaniannya menentang penyembahan berhala, berdiri teguh di hadapan raja zalim, dan menjalankan perintah Tuhan dengan penuh ketulusan meskipun sering kali berat di sisi manusia.
"Keberanian dan keteguhan hati seperti inilah yang kita butuhkan di zaman ini," tuturnya.
Mengapa butuh Ibrahim-Ibrahim baru? di tengah dunia yang semakin terpecah-belah oleh ideologi, politik, dan kepentingan pribadi, maka memerlukan figur-figur yang berani memperjuangkan kebenaran dan keadilan tanpa takut akan konsekuensinya.
"Kita butuh pemimpin yang memiliki integritas, yang tidak hanya memikirkan kepentingan sesaat tetapi juga dampak jangka panjang bagi umat manusia dan alam semesta," jelasnya.
Nabi Ibrahim juga mengajarkan tentang pengorbanan yang tulus. Dalam kisahnya yang legendaris, ia rela mengorbankan putranya, Ismail, sebagai bentuk kepatuhan kepada Tuhan. Pengorbanan seperti ini bukanlah tentang menghilangkan nyawa, melainkan tentang kesiapan untuk memberikan yang terbaik dari diri untuk kebaikan bersama.
Di zaman sekarang, pengorbanan seperti ini bisa berarti memberikan waktu, tenaga, dan sumber daya untuk membantu mereka yang membutuhkan, untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Ibrahim baru bisa muncul dari berbagai kalangan, baik pemimpin politik yang jujur, aktivis sosial yang berani, pendidik yang berdedikasi, hingga individu-individu yang dalam kesehariannya memilih untuk hidup dengan integritas dan kasih sayang.
"Kita semua memiliki potensi untuk menjadi seperti Nabi Ibrahim dalam skala kita masing-masing, dengan cara berani bertindak benar meskipun berat dan tidak populer," ungkap Prof. Hepni.
"Sudah saatnya kita mengangkat kembali nilai-nilai yang diperjuangkan Nabi Ibrahim dalam kehidupan kita sehari-hari," sambungnya.
Nilai-nilai keberanian, ketulusan, pengorbanan, dan keadilan. Dengan begitu, tidak hanya memperingati dan mengenang sosok beliau, tetapi juga benar-benar mewujudkan teladannya dalam dunia nyata.
"Mari kita menjadi "Ibrahim-Ibrahim" baru yang dunia butuhkan, agar kita bisa membangun masa depan yang lebih baik dan penuh harapan bagi generasi yang akan datang," harapnya.
Kisah Ibrahim menyembelih hewan kurban dan menghadapi ujian Allah dikenang dalam syariat penyembelihan hewan kurban pada musim haji. Ia dijadikan suri tauladan karena menunaikan perintah Allah dan dipilih menjadi imam bagi seluruh manusia.
Ibrahim, istri, dan anaknya adalah teladan ideal dalam sebuah keluarga. Keluarga yang baik akan mempengaruhi kualitas masyarakat.
Dari itu, perlu mengukur sejauh mana kecintaan kita kepada Allah melebihi segala-galanya, termasuk cinta kepada pekerjaan, tempat tinggal, harta, anak, istri, dan orang tua.
"Al-Qur'an dan hadits mengajarkan untuk mendahulukan kehendak Allah di atas kehendak kita sendiri. Kita perlu belajar menempatkan kehendak Allah di atas segalanya," terangnya.
Momentum hari raya ini dapat menjadi awal untuk munculnya semangat untuk berkorban, demi memenuhi kehendak Allah atau melahirkan individu dengan etos mujahadah dan tawakkal tinggi.
"Hanya dengan itu, kita dapat mencapai ridha Allah dan mencapai kemakmuran sejati," pungkasnya.
What's Your Reaction?