DPRD Jember Gagas Ketetapan Hukum Daerah Tentang Garis Sempadan Pantai
"Jember belum punya beleid tingkat daerah yang mengatur batas-batas garis sempadan pantai," ujar Sekretaris Komisi B, David Handoko Seto.
Narasinews.id, JEMBER - Kekosongan regulasi daerah menjadi salah satu akar masalah yang menyulut munculnya konflik sosial berkepanjangan di kawasan pesisir selatan Kabupaten Jember.
Hal itu merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Komisi B DPRD Jember usai menelaah sebab-sebab pertentangan lahan sempadan pantai sepanjang Kecamatan Puger, Gumukmas, dan Kencong. "Jember belum punya beleid tingkat daerah yang mengatur batas-batas garis sempadan pantai," ujar Sekretaris Komisi B, David Handoko Seto.
Menurut David, akar masalah tersebut harus segera diatasi supaya konflik sosial di wilayah pesisir dapat terkendali. Langkah awalnya dengan membuat regulasi yang berisi ketentuan titik koordinat sempadan.
Bentuk regulasi dapat berupa peraturan bupati (Perbup) atau peraturan daerah (Perda). Pilihan diantara kedua opsi itu tergantung pertimbangan yang paling memungkinkan untuk dilakukan dalam tempo secepat mungkin.
"Apakah Perbup atau Perda yang bisa dibuat secepatnya. Kita perlu pegangan aturan untuk menyelamatkan pesisir selatan dan kehidupan masyarakat sekitarnya," tutur politisi Partai NasDem itu.
Wakil Ketua Komisi B, Iqbal Wildan Wilda Fardana mengaku, pihaknya sedang menginventarisir sejumlah kajian untuk bahan yang diperlukan dalam menyusun Perda tentang garis sempadan pantai.
Bahan-bahan itu juga berguna apabila Perbup menjadi opsi yang dipilih untuk mengatur garis sempadan pantai. Komisi B bisa mengajukannya sebagai rekomendasi ke Bupati Jember, Hendy Siswanto.
Selain kajian, Iqbal menyebut, Komisi B melengkapinya dengan hasil studi banding saat kunjungan kerja ke DPRD Kabupaten Karangasem - Bali, pada Jumat, 2 Desember 2022.
"Di Karangasem punya Perbup Nomor 30 Tahun 2016 tentang Sempadan Pantai. Kami belajar dari itu, karena Jember belum punya aturan yang demikian," jelasnya.
Kunjungan kerja Komisi B disertai oleh Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Cipta Karya, Bappeda, BPKAD, dan Bagian Hukum, serta Bagian Tata Pemerintahan.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Jember, Indra TP berpendapat lebih baik garis sempadan pantai diatur dengan Perda daripada Perbup. Sebab, beban proses maupun mekanisme tahapannya nyaris serupa.
Namun, Indra menyatakan dirinya akan mengikuti pilihan kebijakan yang akan diambil oleh Bupati dengan DPRD.
"Lebih enak Perda sebagai produk hukum yang kuat. Tanggung kalau Perbup, karena tingkatan beban untuk mengkaji dan prosesnya beda sedikit," ujar pria yang juga menjabat Sekretaris Tim Penertiban Tambak Pantai Selatan Jember itu.
Pemerintah mengatur sempadan pantai melalui beberapa produk hukum. Seperti UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; berikut juga Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai.
Secara tegas, sempadan pantai disebut sebagai daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, serta berjarak minimal 100 meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat.
Fakta yang terjadi di wilayah pesisir Jember, kawasan sempadan pantai diduga kuat telah menjadi lokasi konflik sosial dalam konteks perebutan sumber daya.
Sejumlah pengusaha membangun usaha tambak skala besar yang mencakup luasan lahan hingga ratusan hektar. Ada yang legal maupun ilegal.
Bahkan, salah satu pengusaha difasilitasi secara eksklusif melalui penyewaan lahan oleh Pemerintah Kabupaten Jember. Bupati Hendy menyewakan lahan untuk tambak kepada Direktur PT Bangun Ombak Sejahtera, Nathanael Enrico Djojokusumo.
Lahan yang disewakan seluas 37.850 meter persegi di Desa Mojomulyo, Kecamatan Puger. Durasi sewa selama 5 tahun sejak 2022. Biaya kontribusi tetap senilai Rp70.880.000 per tahun.
Warga tidak mau kalah dengan pengusaha, sehingga sebagian dari mereka mendirikan tambak pula. Meski, skalanya lebih kecil.
Mashun, Pembina Perkumpulan Petambak Rakyat (PPR) mengungkapkan, kurang lebih ada 20 warga yang turut membuat tambak rakyat. Petambak kecil ini berkeinginan memperoleh perlakuan yang setara dengan pengusaha besar dalam hal pemanfaatan wilayah pesisir.
Rencana penetapan batas sempadan pantai dalam bentuk aturan atau produk hukum sangat diharapkan untuk hadir memberikan rasa keadilan bagi semua pihak.
"Teman-teman PPR yang seperti itu kami harapkan, dan sangat setuju kami dukung. Dengan begitu ada upaya pembinaan dan aspek legalitas kami pasti akan terbantu," tuturnya.
Petambak rakyat, masih kata Mashun, berkomitmen untuk mentaati ketentuan hukum. Disamping itu berjanji turut menjaga kelestarian lingkungan dengan cara pengolahan limbah sebaik-baiknya.
Sejauh ini, keberadaan petambak rakyat memberi efek penciptaan lapangan kerja serta mengungkit perekonomian sekitar. Pasalnya, tiap hektar lahan tambak bernilai investasi sekitar Rp1,5 miliar.
"Satu petambak mempekerjakan sedikitnya 5 orang. Kami memberi upah secara layak rata-rata sampai Rp2,5 juta per bulan. Kami juga memberi bonus persentase hasil keuntungan untuk pekerja. Sekarang, sudah terlihat perkembangan ekonomi pesisir selatan yang dulunya sepi, menjadi lebih ramai," ungkapnya. (*)
*Reporter : Sutrisno | Editor : Izzul Muttaqin
What's Your Reaction?