Beda Perlakuan Kasus Kasatpol PP dan Terlapor Pungli, Tebang Pilih?

"Harusnya Inspektorat dan BKPSDM transparan apa temuannya. Kalau memang terbukti Pungli, harusnya direkomendasi kepada APH agar ada putusan pidana yang inkrah. Baru kemudian dijatuhkan hukuman indisipliner sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Tentang Disiplin ASN," ujar Jayadi

Apr 15, 2023 - 14:26
 0
Beda Perlakuan Kasus Kasatpol PP dan Terlapor Pungli, Tebang Pilih?
Praktisi Hukum Kabupaten Situbondo, Jayadi, S.H. (Foto : Tim Redaksi Narasinews.id)

Narasinews.id, SITUBONDO - Salah seorang Praktisi Hukum di Kabupaten Situbondo, Jayadi S.H, memberikan perhatian terhadap pemberian sanksi penundaan kenaikan jabatan untuk oknum PNS di Kecamatan Banyuputih yang dilaporkan atas dugaan pungutan liar (Pungli). Pria asal Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji ini menilai sanksi penundaan jabatan bersifat 'banci'. Sebab sanksi tersebut terlalu ringan dan tidak sepadan dengan pungutan liar (Pungli) yang terjadi. 

Tak hanya itu, Jayadi juga sempat heran dengan perlakuan yang berbeda antara terlapor Pungli di Banyuputih dengan kasus yang menimpa Kasatpol PP Situbondo beberapa waktu lalu. Di mana hanya karena dianggap salah dalam memberikan pernyataan terkait lokalisasi, Kasatpol PP Situbondo harus diberhentikan sementara dari jabatannya. Sedangkan terlapor Pungli hanya mendapat sanksi penundaan jabatan. 

Jayadi pun mengatakan bahwa seharusnya BKPSDM Situbondo merekomendasikan kasus tersebut agar diproses secara pidana jika memang menemukan pelanggaran di dalamnya. Mengingat Pungli adalah persoalan pidana. 

"Harusnya Inspektorat dan BKPSDM transparan apa temuannya. Kalau memang terbukti Pungli, harusnya direkomendasi kepada APH agar ada putusan pidana yang inkrah. Baru kemudian dijatuhkan hukuman indisipliner sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Tentang Disiplin ASN," ujarnya. 

Jayadi bahkan nekat menyebut sanksi yang diberikan kepada terlapor Pungli 'banci'. Dia menanyakan alasan mendasar pemberian sanksi kepeada yang bersangkutan. Dia juga mempertanyakan mengapa tidak menunggu keputusan pidana yang inkrah. 

"Kalau kemudian di atas 2 tahun harus diberhentikan tidak hormat, kalau memang putusan pidananya di bawah 2 tahun mungkin ada sanksi-sanksi berat. Mungkin mutasi, penundaan, atau penurunan pangkat bahkan," ujarnya. 

Karena itu, Jayadi sekali lagi berharap BKPSDM mengikuti aturan dalam PP 53 Tahun 2010. Di mana hukuman disiplin diberikan ketika ada putusan inkrah. Mengingat persoalan Pungli berkaitan dengan pidana. 

"Jika ada temuan atau bukti nyata, harusnya direkomendasikan kepada APH agar menjadi shock therapy kepada ASN lainnya. Jangan-jangan ketika melihat putusan ini banci, bisa-bisa tidak memberikan efek jera kepada lainnya," tuturnya.

Lebih detail Jayadi mengatakan bahwa sanksi yang diberikan terlalu ringan. Sementara perbuatan yang dilakukan masuk kategori sangat berat. 

Jayadi juga menyatakan bahwa sanksi terhadap terlapor Pungli dan Kasatpol PP sangat berbeda. Ada kemungkinan perbedaan tersebut terjadi karena persoalan yang menimpa Kasatpol PP terlanjur viral meski hanya salah dalam memberikan pernyataan. 

"Apa karena memang viral atau ada persoalan lain? Sementara untuk yang Kasatpol PP multi tafsir bahwasanya dia salah atau tidak. Bagi sebagian orang salah mungkin, namun bagi saya tidak ada yang salah. Karena itu pernyataan, dan dia melakukan pendekatan persuasif. Itu sah-sah saja," ucapnya. 

Berbeda dengan Pungli, kata Jayadi, tidak ada tafsir yang membenarkan kebolehan melakukan Pungli. Sehingga sanksi yang diberikan kepada terlapor Pungli harusnya lebih berat. 

"Dan itu bisa direkomendasikan sebagai Pidana. Sementara yang Satpol PP bukan urusan pidana," ucapnya.

Diberitakan sebelumnya, salah seorang warga di Desa Sumberanyar, Kecamatan Banyuputih mengeluhkan sikap oknum petugas Kecamatan Banyuputih. Bagaimana tidak, pria bernama Fendy Riqi Subrata ini diminta uang sebesar Rp1 juta hanya untuk mendapatkan tanda tangan Camat.

Bahkan meski pria asal Dusun Ranurejo ini mengaku tidak memiliki uang, petugas kecamatan bernama Rahmawi itu tetap meminta uang tersebut. Namun setelah terjadi lobi-lobi, akhirnya uang yang diminta turun dari Rp1 juta menjadi Rp300 ribu.

Fendy pun mengaku menyerahkan uang sebesar Rp300 ribu tersebut dengan sangat terpaksa. Mengingat yang bersangkutan memang dalam keadaan tidak memiliki uang. Bahkan demi mendapatkan tanda tangan Camat untuk kelengkapan Surat Keterangan Waris (SKW) miliknya, Fendy harus meminjam kepada saudara sepupunya.

Fendy juga menegaskan bahwa dirinya hanya membutuhkan tanda tangan Camat saja. "Minta tanda tangan Pak Camat saja mas. Saya yang buat suratnya di desa mas. Di kecamatan hanya minta tanda tangan Pak Camat,”tuturnya.

Lebih jauh Fendy menjelaskan kronologi pungutan yang menimpa dirinya. Kata dia, persoalan tersebut terjadi pada Rabu (15/2/2023). Bermula saat dirinya datang untuk meminta tanda tangan Camat Banyuputih. 

"Sampai di sana saya bertemu dengan Lek Rahmawi. Saya ditanya (tanda tangan) buat apa? Buat surat keterangan waris kata saya. Ada empat sertifikat kan di dalam itu. Lah itu dari sana dilihat, dibaca empat sertifikat, jadi persetifikat diminta Rp250 ribu. Kan empat, maka Rp1 juta,” tuturnya.

Fendy kebetulan ketika itu hanya membawa uang Rp250 ribu. Alhasil dia pun menghubungi sang ibu. Dia menyampaikan bahwa dimintai uang sebesar Rp1 juta oleh petugas kecamatan. 

"Terus saya tanya ke istri. Kebetulan istri dulu kerja di Kecamatan Situbondo. Di sana itu katanya gratis. Terus tanya ke Kecamatan Panarukan apa, gratis juga. Setiap kecamatan biasanya gratis,” ujarnya.

Beberapa saat setelah itu, Fendy kembali datang ke petugas Kecamatan Banyuputih. Dia mengatakan bahwa hanya memiliki uang sebesar Rp250 ribu. Rahmawi kemudian mengaku tidak berani menyampaikan kepada camat jika uang yang diberikan kurang dari Rp1 juta. 

Meski demikian, Rahmawi berjanji untuk mencoba mengkomunikasikan persoalan biaya tanda tangan kepada Camat Banyuputih. Dengan catatan uang yang dibayarkan bukan Rp250 ribu, melainkan Rp500 ribu. Namun karena Fendy benar-benar tidak memiliki uang, dia tetap tidak menyanggupi tawaran tersebut.

“Memang di dompet saya adanya Rp250 ribu. Tidak ada lagi,” ujarnya.

Namun Rahmawi tetap mengaku tidak berani untuk menyampaikan hal tersebut kepada Camat Banyuputih jika uang yang ada hanya Rp250 ribu. Fendy pun disarankan untuk pulang.

"Kemudian sorenya saya balik lagi ke sana. Sama saya mau tak nego. Saya pulang pinjam uang dulu ke saudara. Diberi pinjaman dari sana. Begitu sampai sana rencananya mau dinego lagi. Namun tidak bertemu dengan Lek Rahmawi. Jadi saya pulang lagi,” ungkapnya.

Kemudian pada Kamis (16/2/2023) sekitar pukul 10.00, Fendy kembali menemui Rahmawi. Dia mengatakan hanya memiliki uang Rp300 ribu. 

“Dari sana kemudian bilang sudah laporan katanya ke Pak Camat. Jadinya tidak apa-apa yang Rp300 ribu diambil,” ujarnya.

Sementara Rahmawi sendiri saat dikonfirmasi menjelaskan mengenai alasan penarikan uang tersebut. Kata dia, permintaan uang sebesar Rp1 juta itu dikarenakan ada empat sertifikat yang ditulis di dalam surat keterangan waris yang diajukan Fendy. 

Terus dari surat keterangan waris itu, kalau satu berkas adminnya Rp250 ribu. Kata saya, kalau samean tidak mau dek, ayo menghadap ke Pak Camat, kata saya begitu ke Fendy,” tuturnya.

Sementara saat ditanya mengenai dasar hukum penarikan uang tersebut, Rahmawi mengaku tidak memiliki dasar hukum. Penarikan itu berdasarkan kesepakatan atau musyawarah yang diketahui pihak desa.

“Ini saya ke Pak Camat barusan. Kalau seumpama Pak Camat tidak pakai administrasi, ya monggo silahkan tidak apa-apa. Saya kan cuma anak buah yang cuma melaksanakan perintah,” ucapnya.

Dia juga menyampaikan bahwa penarikan uang terjadi sejak camat sebelumnya. Bahkan diketahui para kepala desa.

"Tapi saya bilang ke Pak Camat Zubaidi, kalau seumpama dari bawah itu keberatan, ya terserah Pak Camat. Ini mau ditarik apa nggak. Kalau seumpama keberatan yang tadi pak, tidak apa-apa dikembalikan, gak apa-apa,” terangnya.

Sementara saat ditanya larinya uang hasil penarikan tersebut, Rahmawi mengaku digunakan untuk kesejahteraan sejumlah orang. Misalnya untuk biaya konsumsi kerja bakti. “Itu kalau seumpama ada. Karena tidak setiap hari ada,” jelasnya. (ros/qin)

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow