Mengantisipasi Konflik Politik Pilkades
Oleh : Yogie Kripsian Sah, SSTP., M.Si, ASN Pemkab Situbondo sekaligus Ketua PC GP Ansor Situbondo
Narasinews.id, SITUBONDO - Definisi klasik, sekaligus pragmatis, politik yang paling umum kita dengar adalah siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Begitu kata Harold Lasswell, who gets what when and how (Newey, 2013).
Definisi ini seolah melegitimasi pemakaian cara apapun untuk mewujudkan tujuan politik. Karena menekankan kepada bagaimana tujuan politik dicapai, sementara menomorduakan aspek normatif, maka politik memungkinkan untuk melakukan apapun yang relevan dengan tujuan politik, meski merugikan orang lain dan masyarakat.
Dalam situasi masing-masing kontestan menerapkan cara yang mengabaikan kesantunan politik, maka dampak negatif yang berpotensi muncul dari kompetisi tersebut semakin berpeluang terjadi. Dampak negatif tersebut adalah transfigurasi kompetisi politik menjadi persaingan politik tidak sehat dan saling menjatuhkan. Termasuk konflik destruktif. Melibatkan diri dalam kontestasi politik dengan niat positif adalah baik.
Kita bisa meletakkannya sebagai aktualisasi dari visi berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Berlomba-lomba dalam kebaikan adalah kontestasi sehat dengan tidak saling menjatuhkan. Termasuk manifestasi dari berlomba-lomba dalam kebaikan adalah menghindari penerapan laku-laku politik yang berpotensi memunculkan konflik negatif.
Secara faktual, idealitas ini masih lebih banyak berada dalam lanskap harapan, ketimbang kenyataan yang hadir dalam praktik kontestasi kekuasaan. Ketegangan hingga konflik kekerasan kerap kali menyelimuti setiap hajatan pemilihan. Tidak hanya di level nasional, bahkan juga di level pedesaan.
Bahkan, tidak dapat dipungkiri bahwa ketegangan dan potensi konflik kekerasan semakin terasa di level suksesi pemerintahan desa. Justru karena itu pula, kontestasi Pilkades lebih memengaruhi perilaku politik (political behaviour) masyarakat, ketimbang Pilpres, Pilkada dan pemilihan anggota legislatif.
Itulah fenomena politik yang kerap terlihat dalam kontestasi Pilkades di beberapa daerah.
Tensi politik Pilkades begitu tinggi. Tensi politik yang semakin meninggi berpotensi meledak menjadi konflik kekerasan jika tidak bisa dikelola secara positif dan konstruktif. Bayang-bayang konflik kekerasan ini yang harus diwaspadai dalam setiap hajatan Pilkades.
Ada dua hal yang membuat potensi konflik di pilkades begitu terbuka. Pertama, ruang kontestasi pilkades relatif sempit. Gesekan langsung antar kepentingan yang berbeda acap kali sulit dihindarkan.
Warna kepentingan antar orang mudah dikenali. Termasuk posisi politik masing-masing. Akibatnya, siapa yang memiliki kepentingan dan posisi diametral dengan yang lain, dengan gampangnya mudah diidentifikasi.
Dalam pilkades, calon kepala desa dan pemilihnya berinteraksi dalam ruang yang sempit. Mereka bertemu dan berbaur langsung. Dengan ruang lingkup yang sedemikian kecil, pola gerakan masing-masing dengan gampangnya mudah terdeteksi.
Dalam kondisi demikian, konflik langsung rentan pecah dan bahkan berakumulasi menjadi kekerasan.
Faktor pertama ini lantas diperkuat dengan faktor kedua berupa model interaksi yang terjalin dalam komunitas masyarakat desa, di mana tingkat relasi sosial yang terjalin begitu dekat satu dengan yang lain.
Menurut Lewis Coser (1956), the closer the relationship the more intense conflict; semakin dekat hubungan terjalin semakin konflik meningkat intensitasnya. Tidak dipungkiri, komunalisme masyarakat desa begitu kental. Satu sama lain saling mengenal dan terlibat hubungan yang dekat.
Pada satu sisi, tentu hal demikian merupakan sebuah keunggulan. Saling pengertian di antara mereka cukup tinggi, dengan kohesi sosial yang terbilang ajek. Namun, saat konflik pecah, kedekatan relasi ini justru menjadi faktor yang bisa memicu menguatnya intensitas konflik.
Kedewasaan berdemokrasi untuk meredam potensi konflik tidak meledak menjadi konflik kekerasan, maka diperlukan kedewasaan dari semua komponen masyarakat. Baik para kontestan, tim sukses, maupun masyarakat itu sendiri. Kontestasi harus diletakkan sebagai keniscayaan dalam demokrasi yang sifatnya sesaat, sementara memelihara harmoni adalah cita-cita hidup setiap saat.
Ketika kontestasi sesaat mengorbankan harmoni setiap saat, maka sama saja kita menjual emas dengan besi berkarat. Terlalu mahal harga dari sebuah harmoni jika harus ditukar dengan kontestasi sesaat. Padahal, kontestasi adalah sarana suksesi kepemimpinan yang salah satu tujuan dasarnya adalah terciptanya harmoni sosial serta mencegah kekacauan sosial (social chaos).
Karena itulah, Islam sangat memperhatikan dimensi kepemimpinan untuk mencegah agar terjadinya kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Bagi Islam, menegakkan kepemimpinan (nashbul imamah) hukumnya wajib. Bahkan, dalam postulat terkenal, pemimpin yang dhalim sekalipun masih lebih baik dari konsongnya kepemimpinan yang akan menjatuhkan masyarakat ke dalam kekacauan.
Adalah sebuah ironi saat keadaan yang ingin kita hindari sebagai tujuan suksesi kepemimpinan justru kita pertontonkan di awal proses seleksi kepemimpinan. Pertikaian kita pertontonkan karena perbedaan pilihan calon pemimpin, sementara kerukunan yang ingin kita wujudkan justru dikesampingkan.
Sebagai bagian dari kedewasaan demokrasi, serta mencegah munculnya konflik kekerasan, menginsyafi bahwa perbedaan adalah niscaya menjadi keharusan. Termasuk perbedaan pilihan politik dan kepentingan. Perbedaan ini acapkali dikapitalisasi menjadi sumber pertikaian. Seolah-olah hanya ada satu kebenaran, dan kebenaran itu adalah pilihan sendiri, sementara pilihan yang lain pasti salah.
Untuk memperjuangkan apa yang diyakininya benar, setiap orang lantas merasa bebas melakukan apapun meraih tujuan, termasuk dalam rangka memenangkan calon yang diyakininya mewakili kebenaran.
Sikap bigotri ini jelas adalah pintu awal menuju konflik dan pertikaian. Padahal, kata Imam Abu Hanifah “Pendapat saya benar berpotensi salah, pendapat yang lain salah berpotensi benar”.
Keterbukaan untuk menerima potensi kebenaran dalam pilihan orang lain ini yang semestinya dibangun dan ditradisikan.
Silahkan perjuangkan pilihan yang kita yakini benar, tetapi tidak perlu disertai sikap memusuhi mereka yang berbeda pendirian.
Sikap saling menghormati perbedaan pilihan adalah keniscayaan untuk menjaga proses kontestasi pilkades tidak melahirkan persoalan seperti pertikaian dan permusuhan. Pada akhirnya, marilah kita hidupkan ruang kontestasi Pilkades yang berdiri di atas nilai-nilai santun dan berkeadaban. (*)
What's Your Reaction?