Ketika Inovator Ditinggalkan, Korporasi Dilindungi

NARASINEWS.ID - Gugatan perdata Sukiyat terhadap PT Astra Otoparts mungkin tampak sederhana di permukaan—sebuah persoalan wanprestasi dalam urusan bisnis. Namun jika dilihat lebih dalam, kasus ini sesungguhnya merupakan barometer sejauh mana negara berpihak pada inovasi lokal atau tunduk pada dominasi korporasi besar.
Sukiyat bukan nama asing dalam dunia otomotif Indonesia. Ia adalah simbol perlawanan terhadap ketergantungan bangsa ini pada produk dan teknologi impor. Melalui proyek AMMDes—yang bahkan diresmikan langsung dalam seremoni kenegaraan oleh Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto tahun 2018—Sukiyat dan timnya mencoba menjawab kebutuhan transportasi pedesaan dengan produk anak bangsa.
Namun harapan itu kini nyaris padam. Bukannya mendapat dukungan, proyek tersebut justru kandas setelah dugaan permainan licik dari mitra korporasi, Astra Otoparts. Meski sudah dua kali disomasi, perusahaan otomotif raksasa itu enggan menyelesaikan kewajibannya. Nilai gugatan Sukiyat ke Astra Otoparts memang tak sebanding dengan laba bersih Astra Otoparts yang mencapai Rp2,03 triliun pada 2024. Namun justru karena itulah, sikap tidak kooperatif tersebut mencerminkan arogansi kekuatan modal yang merasa tak tersentuh hukum.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah pembiaran sistemik terhadap kasus ini. DPR, khususnya Komisi VI yang membidangi industri, absen total dalam pengawasan. Padahal mereka memiliki peran konstitusional untuk mengawal setiap program strategis yang menyangkut hajat hidup rakyat. Tapi hari-hari ini, parlemen kita tampak lebih tertarik pada pertarungan kekuasaan dan revisi undang-undang kontroversial ketimbang melindungi inovator lokal dari penindasan korporasi.
Pemerintah pun tak kalah pasif. Setelah menyematkan "program strategis nasional" pada AMMDes, negara kini justru terkesan cuci tangan. Tak ada intervensi, tak ada klarifikasi, tak ada keberpihakan. Seolah proyek itu tak pernah ada. Apakah ini karena PT Astra International adalah “anak emas” yang tak boleh diganggu? Atau karena negara lebih nyaman jadi fasilitator investor besar ketimbang pelindung inovator lokal?
Lebih jauh, Sukiyat menuding adanya dugaan penipuan terstruktur dalam perjanjian yang ia tandatangani. Tuduhan serius ini mengindikasikan bahwa bukan tidak mungkin ada tangan-tangan kekuasaan—baik politik maupun birokrasi—yang ikut bermain. Dalam ekosistem kekuasaan yang sering kali kabur batas antara bisnis dan politik, sulit untuk mengabaikan kemungkinan adanya aliansi tak kasat mata yang bekerja memastikan status quo korporasi tetap terjaga.
Kita perlu jujur mengakui: Indonesia belum sungguh-sungguh menjadi rumah yang aman bagi inovatornya. Setiap kali muncul gerakan kemandirian industri dari bawah, sistem nyaris selalu bergerak untuk menjinakkannya—baik melalui mekanisme hukum, tekanan ekonomi, maupun diam yang disengaja. Maka ketika Sukiyat membawa kasus ini ke ranah hukum, sejatinya ia sedang menantang seluruh sistem untuk diuji: apakah hukum akan tegak, atau justru "masuk angin" di bawah tekanan raksasa bisnis?
Gugatan ini lebih dari sekadar angka dan pasal. Ini adalah pertarungan ideologis: apakah Indonesia ingin tetap nyaman sebagai pasar, atau berani mengambil risiko menjadi produsen? Publik tidak boleh diam. Karena ketika yang kecil dilumpuhkan oleh yang besar dan negara membiarkannya, sesungguhnya kita semua sedang dikhianati.
Pengadilan Negeri Jakarta Utara kini menghadapi ujian integritas. Dan kepada publik, kami hanya ingin berkata satu hal: jangan biarkan mimpi mandiri anak bangsa kandas karena negara lebih memilih diam. (irwn)
What's Your Reaction?






