Selamat Hari Kartini: Menjaga Api Kartini di Era Post-Truth
Oleh: Ach. Abrori, SH, MH, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Bondowoso
Sudah 146 tahun sejak Raden Ajeng Kartini lahir ke dunia, namun namanya terus bergema melintasi zaman. Bukan hanya sebagai sosok perempuan bangsawan Jawa yang menulis surat-surat penuh kegelisahan dan harapan, tetapi sebagai simbol perjuangan melawan kebodohan, keterbatasan, dan ketidakadilan. Kartini bukan hanya milik masa lalu, Ia adalah sosok visioner, yang warisan pemikirannya masih relevan hingga hari ini. Namun, satu pertanyaan penting terus bergema dari masa ke masa: apakah kita, generasi masa kini, benar-benar telah mewarisi semangat dan nilai-nilai perjuangannya?
Hari ini kita hidup dalam era yang sering disebut post-truth, sebuah zaman di mana kebenaran tidak lagi menjadi dasar utama dalam membentuk opini publik. Emosi dan persepsi pribadi lebih mudah diterima dibandingkan fakta. Dalam dunia seperti ini, warisan pemikiran Kartini justru menjadi semakin penting. Ia bukan hanya memperjuangkan pendidikan bagi perempuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kebebasan berpikir, keberanian bersuara, dan kejernihan dalam melihat realitas.
Kartini menulis di tengah keterkungkungan budaya dan sistem, namun pikirannya melampaui batas-batas itu. Ia menekankan pentingnya pendidikan bukan hanya sebagai akses menuju pengetahuan, tetapi sebagai jalan menuju pembebasan batin dan kematangan berpikir. Maka, di tengah arus informasi yang deras saat ini, tantangan kita telah bergeser. Kita tidak lagi hanya memperjuangkan akses terhadap pendidikan, melainkan bagaimana memastikan bahwa apa yang kita akses benar-benar bermakna, membentuk akal sehat dan nurani yang utuh.
Ironisnya, generasi yang kini tumbuh dalam kemudahan dan kelimpahan justru kerap terasa semakin jauh dari akar nilai dan jati diri. Dalam ruang yang serba instan ini, kedewasaan sering dikaburkan oleh tren, dan kedalaman digeser oleh kecepatan. Padahal, seperti yang diyakini Kartini, perubahan sejati hanya bisa lahir dari kombinasi keberanian dan pemikiran yang matang bukan sekadar keberisikan.
Hari ini, kita melihat dunia yang serba paradoksal. Di satu sisi, kebebasan berekspresi semakin luas; namun di sisi lain, keberanian untuk menyuarakan kebenaran justru terasa langka. Kita memiliki segalanya—akses terhadap informasi, platform untuk berbicara, teknologi untuk bergerak cepat—namun seringkali kehilangan satu hal paling mendasar: kebijaksanaan. Dalam dunia di mana fakta bisa disulap menjadi opini, dan opini bisa dikomodifikasi menjadi alat kekuasaan, maka kembali kepada nilai-nilai Kartini adalah kebutuhan yang mendesak.
Kartini adalah lambang keberanian intelektual dan moral. Ia mengajarkan kita untuk tidak hanya cerdas, tetapi juga bijak. Pendidikan, dalam pandangannya, bukan semata-mata soal kemampuan akademik, tetapi juga tentang membentuk manusia yang beretika, berempati, dan berintegritas. Di era digital ini, di mana kecerdasan buatan bisa meniru banyak hal, satu hal yang tidak bisa digantikan adalah nurani manusia. Maka, pendidikan hari ini haruslah kembali pada esensinya: memanusiakan manusia.
Teknologi memang bukan musuh. Namun tanpa arah dan kedalaman nilai, ia bisa menjadi candu yang membutakan. Kita bisa saja terhubung dengan dunia, tetapi terputus dari diri sendiri. Maka, kemajuan seharusnya diimbangi dengan kearifan, dan kecepatan harus didampingi oleh perenungan.
Semboyan "Habis gelap, terbitlah terang" bukan sekadar kutipan manis untuk dikenang setiap 21 April. Ia adalah pengingat bahwa terang yang sejati bukanlah cahaya palsu dari gawai yang tak henti bersinar, melainkan kesadaran yang tumbuh dari pemahaman dan tindakan yang berlandaskan nilai. Terang itu harus menyinari cara kita berpikir, bersikap, dan menjalani hidup sebagai individu dan sebagai masyarakat.
Selamat Hari Kartini. Semoga semangatnya tidak hanya jadi potret yang digantung di dinding, atau kata-kata yang dibaca setahun sekali, tetapi benar-benar menjadi nyala yang membimbing kita dalam menapaki dunia yang terus berubah. Mari kita jaga api itu tetap menyala di kepala, di hati, dan dalam tindakan sehari-hari.
What's Your Reaction?






